Cerita Sex Dihamili Tetangga part 2

Badan kekarnya memelukku mesra. Aku selalu merasa tenang dalam pelukan laki-laki perkasa itu. Aku tidak berani menjawab. Suamiku memegang mukaku, dan menghadapkan ke mukanya. Sepertinya dia menyadari apa yang terjadi. Sambil menatap mataku, dia bertanya, “benarkah?”
Aku mengangguk pelan sambil menagis, “aku hamil, mas…”
Jelas suamiku juga kaget.

Dia diam saja sambil tetap memelukku. Lalu dia menjawab singkat’
“besok kita ke dokter Merlin”. Aku mengangguk, lalu kami saling berpelukan sampai pagi tiba.
Hari selanjut sore-sore kami berdua menemui dokter Merlin. Setelah dilakukan test, dokter cantik itu memberi selamat pada kami berdua.

“Selamat, Pak dan Bu Prasojo. Anda akan mendapatkan anak ketiga”, kata dokter itu riang.
Kami mengucapkan terimakasih atas ucapan itu, dan sepanjang jalan pulang tidak berkata sepatah kata pun. Setelah itu, suamiku tidak menyinggung masalah itu, bahkan dia memberi tahu pada anak-anak kalau mereka akan punya adik baru. Anak-anak ternyata senang juga, karena sudah lama tidak ada anak kecil di rumah. Bagi mereka, adik kecil akan menyemarakkan rumah yang sekarang sudah tidak lagi ada suara anak kecilnya.

Malamnya, setelah tahu aku hamil, suamiku justru menyetubuhiku dengan ganas. Aku tidak tahu apakah dia ingin agar anak itu gugur atau karena dia merasa sangat bernafsu padaku. Yang jelas aku menyambutnya dengan tak kalah bernafsu. Bahkan kami baru tidur menjelang jam 3 dini hari setelah sepanjang malam kami bergelut di kasur kami.

Aku tidak tahu lagi bagaimana wujud mukaku malam itu, karena sepanjang malam mulutku disodok-sodok penis suamiku, dan dipenuhi oleh muncratan spermanya yang sampai tiga kali membasahi muka dan mulutku. Aku hampir tidak bisa bangun pagi harinya, karena seluruh tubuhku seperti remuk dikerjain suamiku. Untungnya esok harinya hari libur, jadi aku tidak harus buru-buru menyiapkan sekolah anak-anak.

Hari-hari selanjutnya berlalu dengan luar biasa. Suamiku bertambah hot setiap malam. Aku juga selalu merasa horny. Wah, beruntung juga kalau semua ibu-ibu ngidamnya penis suami seperti kehamilanku kali ini. Hamil kali ini betul-betul beda dengan kehamilanku sebelumnya, yang biasanya pakai ngidam gak karuan. Hamil kali ini justru aku merasa sangat santai dan bernafsu birahi tinggi.

Setiap malam vaginaku terasa senut-senut, ada atau tak ada suamiku. Kalau pas ada enak, aku tinggal naik dan goyang-goyang pinggang. Kalau pas gak ada aku yang sering kebingungan, dan mencari-cari di internet film-film porno. Sudah itu pasti aku mainin pakai pisang, yang jadi langgananku di pasar setiap pagi, hehehe.

Yang jadi masalah, adalah perlukah aku memberi tahu si Indun bahwa aku hamil dari benihnya? Aku tidak berani bertanya pada suamiku. Dia mendukung kehamilanku saja sudah sangat membahagiakanku. Aku menjadi bahagia dengan kehamilan ini. Di luar dugaanku, ternyata kami sekeluarga sudah siap menyambut anggota baru keluarga kami. Itulah hal yang sangat aku syukuri.

Pas bulan puasa, tiba-tiba suamiku melakukan sesuatu yang mengherankanku. Dia mengajak Indun untuk membantu bersih-bersih rumah kami. Tentu saja aku senang, karena suamiku sudah bisa menerima kejadian waktu itu. Aku senang melihat mereka berdua bergotong-royong membersihkan halaman dan rumah. Indun dan Mas Prasojo nampak sudah bersikap biasa sebagaimana sebelum kejadian malam itu. Bahkan sesekali Indun kembali menginap di gazebo kami, karena kami merasa sepi juga tanpa kehadiran anak-anak.

Si Rika semakin sibuk dengan urusan kampusnya, sementara si Sangga hanya pada malam hari saja menunjukkan mukanya di rumah. Semenjak itu, suasana di rumah kami menjadi kembali seperti sediakala. Tetap saja gazebo depan rumah sering ramai dikunjungi orang. Cuma sekarang Indun tidak pernah lagi menginap di sana. Mungkin karena hampir ujian, jadi dia harus banyak belajar di rumah. Beberapa bulan kemudian, tubuhku mulai berubah. Perutku mulai terlihat membuncit. Kedua payudara membesar.

Memang kalau hamil, aku selalu mengalami pembengkakan pada kedua payudaraku. Hormonku membuatku selalu bernafsu. Mas Prasojo pun seolah-olah ikut mengalami perubahan hormon. Nafsu seksnya semakin menggebu melihat perubahan di tubuhku. Kalau pas di rumah, setiap malam kami bertempur habis-habisan. Gawatnya, payudaraku yang memang sebelumnya sudah besar menjadi bertambah besar.

Semua bra yang kucoba sudah tidak muat lagi, padahal bra yang kupakai adalah ukuran terbesar yang ada di toko. Kata yang jual, aku harus pesan dulu untuk membeli bra yang pas di ukuran dadaku sekarang. Akhirnya aku nekat kalau di rumah jarang memakai bra. Kecuali kalau keluar, itupun aku menjadi tersiksa karena pembengkakan payudaraku.

Aku menjadi seperti mesin seks. Dadaku besar, dan pantatku membusung. Seolah tak pernah puas dengan bercinta setiap malam. Suamiku mengimbangiku dengan nafsunya yang juga bertambah besar. Indun akhirnya tahu juga kehamilanku.

Dia sering curi-curi pandang melihat perutku yang mulai membuncit. Aku tidak tahu, apakah dia sadar, kalau anak dalam kandunganku adalah hasil dari perbuatannya. Yang jelas, Indun menjadi sangat perhatian padaku. Setiap sore dia ke rumah untuk membantu apa saja. Bahkan di malam hari pun dia masih di rumah sambil sekali-kali meneruskan program mengaji anak-anakku.

Pada suatu malam, Mas Prasojo harus pergi dinas ke luar kota. Malam itu kami membiarkan Indun sampai malam di rumah kami, sambil menjaga menjaga rumah. Aku harus ikut pengajian dengan ibu-ibu kampung.

Jam setengah 10 malam aku baru pulang. Sampai di rumah, aku lihat Indun masih mengerjakan tugas sekolahnya di ruang tamu.
“Ndun, Sangga sudah pulang?” tanyaku sambil menaruh payung, karena malam itu hujan cukup deras.
“Belum, Bu”
Aku lalu menelpon anak itu. Ternyata dia sedang mengerjakan tugas di rumah temannya. Aku percaya dengan Sangga, karena anak itu tidak seperti anak-anak yang suka hura-hura. Dia tipe anak yang sangat serius dalam belajar. Apalagi sekolahnya adalah sekolah teladan di kota kami. Jadi kubiarkan saja dia menginap di rumah temannya itu.

Aku lalu berkata ke Indun, “Kamu nginap sini aja ya, aku takut nih, hujan deres banget dan Mas Prasojo gak pulang malam ini”.
Memang aku selalu gak enak hati kalau cuaca buruk tanpa mas Prasojo. Takutnya kalau ada angin besar dan lampu mati. Apalagi kami sudah tidak ada lagi masalah dengan kejadian waktu itu.
“Iya bu, sekalian aku ngerjain tugas di sini”, jawab Indun.
Aku melepas kerudungku dan duduk di depan tivi di ruang keluarga. Agak malas juga aku ganti daster, dan juga ada si Indun, gak enak kalau dia nanti keingat kejadian dulu. Sambil masih tetap pakai baju muslim panjang aku menyelonjorkan kakiku di sofa, sementara si Indun masih sibuk mengerjakan kalukulus di ruang tamu.

Bajuku baju panjang terusan. Agak gerah juga karena baju panjang itu, akhirnya aku masuk kamar dan melepas bra yang menyiksa payudara bengkakku. Aku juga melepas cd ku karena lembab yang luar biasa di celah vaginaku.

Maklum ibu hamil. Kalau kalian lihat aku malam itu mungkin kalian juga bakalan nafsu deh, soalnya walaupun pakai baju panjang, tapi seluruh lekuk tubuhku pada keliatan, karena pantat dan payudaraku membesar. Acara tivi gak ada yang menarik. Akhirnya aku ingat untuk membuatkan Indun minuman. Sambil membawa kopi ke ruang tamu aku duduk menemani anak itu.

“Wah, makasih , Bu. Kok repot-repot” katanya sungkan.
“Gak papa, kok”
Aku duduk di depannya sambil tak sengaja mengelus perutku.
Indun malu-malu melihat perutku.
“Bu, udah berapa bulan ya?” tanyanya kemudian, sambil meletakkan penanya.
“Menurutmu berapa bulan? Masak nggak tahu?” tanyaku iseng menggodanya.
Tiba-tiba mukanya memerah. Indun lalu menunduk malu.
“Ya nggak tahu bu… Kok saya bisa tahu darimana?” jawabnya tersipu.
Tiba-tiba aku sangat ingin memberi tahunya, kabar gembira yang sewajarnya juga dirasakan oleh bapak kandung dari anak dalam kandunganku. Dengan santai aku menjawab, “Lha bapaknya masak gak tahu umur anaknya?”
Indun kaget, gak menyangka aku akan menjawab sejelas itu. Dia jelas gelagapan. Hehehe. Apa yang kau harap dari seorang anak ingusan yang tiba-tiba akan menjadi bapak.
Wajahnya melongo melihatku takut-takut. Dia tidak tahu akan menjawab apa. Aku jadi tambah ingin menggodanya.

“Kamu sih, bapak yang gak bertanggung jawab. Sudah menghamili pura-pura tidak tahu lagi”, kataku sambil melirik menggodanya.
Aku mengelus-elus perutku. Geli juga lihat wajah Indun saat itu. Antara kaget dan bingung serta perasaan-perasaan yang tidak dimengertinya.
“Aku… eeeee… maaf Bu… aku tidak tahu…” Indun menyeka keringat dingin di dahinya.
“Memangnya kamu tidak suka anak dalam perutku ini anakmu?” tanyaku.
“Eh… aku suka banget Bu.. Aku seneng…” Indun benar-benar kalut.
“Ya udah, kalau benar-benar seneng, sini kamu rasakan gerakannya” kataku manja sambil mengelus perutku.
“Boleh Bu? Aku pegang..?” tanyanya kawatir.
“Ya, sini, kamu rasakan aja. Biar kalian dekat” perutku terlihat sangat membuncit karena baju muslim yang kupakai hampir tidak muat menyembunyikan bengkaknya. Indun bergeser dan duduk di sebelahku. Matanya menunduk melihat ke perutku. Takut-takut tangannya menuju ke perutku. Dengan tenang kupegang tangan itu dan kudaratkan ke bukit di perutku. Sebenarnya aku berbohong, karena umur begitu gerakan bayi belum terasa, tapi Indun mana tahu. Dengan hati-hati dia meletakkan telapaknya di perutku.

“Maaf ya bu”, ijinnya. Aku membiarkan telapaknya menempel ketat di perutku. Dia diam seolah-olah mencoba mendengar apa yang ada di dalam rahimku. Aku merasa senang sekali karena biar bagaimanapun anak ingusan ini adalah bapak dari anak dalam kandunganku.
“Kamu suka punya anak?” tanyaku.
“Aku suka sekali, Bu, punya anak dari Ibu. Ohh.. Bu. Maafkan saya ya Bu” jawab Indun hampir tak kedengaran. Tangannya gemetar di atas perutku.

Indun terlihat sangat kebingungan, tak tahu harus berbuat apa. Aku juga ikut bingung, dengan perasaan campur aduk. Antara bahagia, bingung, geli, dan macam-macam rasa gak jelas. Tiba-tiba dadaku berdebar-debar menatap anak muda itu. Anak itu sendiri masih takut-takut melihat mukaku. Kami berdua tiba-tiba terdiam tanpa tahu harus melakukan apa. Tangan Indun terdiam di atas perutku.

“Ndun, kamu gimana perasaanmu lihat ibu-ibu yang lagi bengkak-bengkak kayak aku?” tanyaku memecah kesunyian.
“Saya suka sekali sama Ibu……” jawabnya.
“Kenapa?”
“Ibu cantik..” jawabnya dengan muka memerah.
“Ihh.. cantik dari mana? Aku khan udah tua dan lagian sekarang badanku kayak gini..” jawabku.
Indun mengangkat wajahnya pelan menatapku, malu-malu.
“Gak kok, Ibu tetep cantik banget…” jawabnya pelan. Tangannya mulai mengelus-elus perutku. Aku merasa geli, yang tiba-tiba jadi sedikit horny. Apalagi tadi malam Mas Prasojo belum sempat menyetubuhiku.
“Kok waktu itu kamu tegang ngintip aku sama Mas Prasojo?” tanyaku manja. Mukaku memerah. Aku benar-benar bernafsu. Aneh juga, anak kecil ini pun sekarang membuatku pengen disetubuhi. Apa yang salah dengan tubuhku?
“Aku nafsu lihat badan Ibu…” kali ini Indun menatap wajahku.

Mukanya merah. Jelas dia bernafsu. Aku tahu banget muka laki-laki yang nafsu lihat aku.
“Kalau sekarang? Masa masih nafsu juga, aku khan sudah membukit kayak gini..”
Indun belingsatan.
“Sekarang iya..” jawabnya sambil membetulkan celananya.
“Idiiih…. Mana coba lihat?” godaku.
Indun makin berani. Tangannya gemetar membuka celananya. Dari dalam celananya tersembul keluar sebatang penis jauh lebih kecil dari punya suamiku. Yang jelas, penis itu sudah sangat tegang.
“Wah, kok sudah tegang banget. Pengen nengok anakmu ya?” godaku.
Indun sudah menurunkan semua celananya. Tapi dia tidak tahu harus melakukan apa. Lucu lihat batang kecil itu tegak menantang. Aku sudah sangat horny. Vaginaku sudah mulai basah. Tak tahu kenapa bisa senafsu itu dekat dengan anak SMP ini. Dengan gemes, aku pegang penis Indun.
“Mau dimasukin lagi?” tanyaku gemetar.
“Iya bu.. Mau banget”
Tanpa menunggu lagi aku menaikkan baju panjangku dan mengangkangkan kakiku. Segera vaginaku terpampang jelas di depan Indun. Rambut hitam vaginaku serasa sangat kontras dengan kulit putihku.
Segera kubimbing penis anak itu ke dalam lobang vaginaku. Indun mengerang pelan, matanya terbeliak melihat penisnya pelan-pelan masuk ditelan vaginaku.

“Ohhhh…… Buuu…..” desisnya.

Bless, segera penis itu masuk seluruhnya dalam lobang vaginaku. Aku sendiri merasakan kenikmatan yang aneh. Entah kenapa, aku sangat ingin mengisi lobangku dengan batang itu.
“Diemin dulu di dalam sebentar, biar kamu gak cepat keluar”, perintahku.
“Iiiiiyaaa, Bu..” erangnya. Indun mendongakkan kepalanya menahan kenikmatan yang luar biasa baginya. Sengaja pelan-pelan kuremas penis itu dengan vaginaku, sambil kulihat reaksinya.
“Ohhh…” Indun mengerang sambil mendongak ke atas. hiv
Kubiarkan dia merasakan sensasi itu. Pelan-pelan tanganku meremas pantatnya. Indun menunduk menatap wajahku di bawahnya. Pelan-pelan dia mulai bisa mengendalikan dirinya. Tampak nafasnya mulai agak teratur.

Kupegang leher anak itu, dan kuturunkan mukanya. Muka kami semakin berdekatan. Bibirku lalu mencium bibirnya. Kamu berdua melenguh, lalu saling mengulum dan bermain lidah. Tangannya meremas dadaku. Aku merasakan kenikmatan yang tiada tara. Segera kuangkat sedikit pantatku untuk merasakan seluruh batang itu semakin ambles ke dalam vaginaku.

“Ndun, ayo gerakin maju mundur pelan-pelan..” perintahku.
Indun mulai memaju mundurkan pantatnya. Penisnya walaupun kecil, kalau sudah keras begitu nikmat sekali dalam vaginaku. Aku mengerang-erang sekarang. Vaginaku sudah basah sekali. Banjir mengalir sampai ke pantatku, bahkan mengenai sofa ruang tamu.

Aku mengarahkan tangan Indun untuk meremas-remas payudaraku lagi. Dengan hati-hati dia berusaha tidak mengenai perutku, karena takut kandunganku. Ohhh… aku sudah sangat nafsuu… sekitar 15 menit Indun memaju mundurkan pantatnya. Tidak mengira dia sekarang sekuat itu. Mungkin dulu dia panik dan belum terbiasa. Aku tiba-tiba merasakan orgasme yang luar biasa.

“Ohhhh…” teriakku. Tubuhku melengkung ke atas. Indun terdiam dengan tetap menancapkan penisnya dalam lobangku. “Aku sampai, Ndunnnn……” aku terengah-engah.
Sambil tetap membiarkan penisnya di dalam vaginaku, aku memeluk ABG itu. Badannya penuh keringat. Kami terdiam selama berepa menit sambil berpelukan. Penis Indun masih keras dan tegang di dalam vaginaku.

“Ndun, pindah kamar yuk”, ajakku.
Indun mengangguk. Dicabutnya penisnya dan berdiri di depanku. Aku ikut berdiri gemetar karena dampak orgasme yang mengebu barusan. Kemudian aku membimbing tangan anak itu membawanya ke kamarku. Di kamar aku meminta dia melepaskan bajuku, karena agak repot melepas baju ini. Di depan pemuda itu aku kini telanjang bulat. Indun juga melepas bajunya. Sekarang kami berdua telanjang dan saling berpelukan.

Aku lihat penisnya masih tegak mengacung ke atas. Aku rebahkan pemuda itu di kasurku. Lalu aku naik ke atas dan kembali memasukkan penisnya ke vaginaku. Kali ini aku yang menggenjotnya maju mundur. Tangan Indun meremas-remas susuku. Ohh, nikmat sekali. Penis kecil itu benar-benar hebat. Dia berdiri tegak terus tanpa mengendor seidkit pun. Aku sengaja memutar-mutar pantatku supaya penis itu cepat muncrat.

Tapi tetap saja posisinya sama. Aku kembali orgasme, bahkan sampai dua kali lagi. Orgasme ketiga aku sudah kelelahan yang luar biasa. Aku peluk pemuda itu dan kupegang penisnya yang masih tegak mengacung. Kami berpelukan di tengah ranjang yang biasa kupakai bercinta dengan suamiku.
“Aduuuh, Ndun.. kamu kuat juga ya. Kamu masih belum keluar ya?”
“Gak papa Bu…” jawabnya pelan.
Tiba-tiba aku punya ide untuk membantu Indun. Kuraih batang kecil itu dan kembali kumasukkan dalam vaginaku. Kali ini kami saling berpelukan sambil berbaring bersisian.
“Ndun, Ibu udah lelah banget. Batangmu dibiarin aja ya di dalam, sampai kamu keluar…” bisikku.

Indun mengangguk. Kami kembali berpelukan bagai sepasang kekasih. Vaginaku berkedut-kedut menerima batang itu. Kubiarkan banjir mengalir membasahi vaginaku, Indun juga membiarkan penisnya tersimpan rapi dalam vaginaku. Karena kelelahan aku tertidur dengan penis dalam vaginaku.

Gak tahu berapa jam aku tertidur dengan penis masih dalam vaginaku, ketika jam 1 malam tiba hpku menerima sms. Aku terbangun dan melihat Indun masih menatap wajahku sambil membiarkan penisnya diam dalam lobangku.

“Aduh, Ndun. Kamu belum bisa bobok? Aduuuh, soriiii ya…” kataku sambil meremas penisnya dengan vaginaku.
“Gak papa kok, Bu. Aku seneng banget di dalam..” kata Indun.
Tanpa merubah posisi aku meraih hpku di meja samping ranjang. Kubuka sms, ternyata dari Mas Prasojo: “Hai Say, udah bobok? Kalau blum aku pengen telp”.
Aku segera balas: “Baru terbangn, telp aja, kangen”
Segera setelah kubalas sms, Mas Prasojo menelponku. Aku menerima telepon sambil berbaring dan membiarkan penis Indun di dalam vaginaku.

“Hei… Sorii ganggu, udah bobok apa?” tanyanya.
“Gak papa Mas, kangen. Kapan jadinya balik?” tanyaku.
“Lusa, Dik, ini aku masih di jalan. Lagi ada pembekalan masyarakat. Gimana anak-anak?”
“Hmmm…. “ aku agak menggeliat. Indun memajukan pantatnya, takut lepas penisnya dari lobangku. Aku meletakkan jariku di bibirnya, agar dia tak bersuara. Indun mengangguk sambil tersenyum.
“Baik, mereka oke-oke saja kok. Udah pada makan dan bobok nyenyak dari jam 9 tadi. Aku kangen mas…”
“Sama.. Pengen nih” kata suamiku.
“Sini, mau di mulut apa di bawah?” tanyaku nakal.
“Mana aja deh”
“Nih, pakai mulutku aja, udah lama gak dikasih. Udah gatel, hihih…” godaku.
“Aduuh Dik. Aku lagi di kampung sepi. Malah jadi kangen sama kamu. Gimana hayooo?” rengek suamiku.
Kami memang biasa saling terbuka soal kebutuhan seks kami.
“Kocok aja Mas, aku juga mau” kataku manja.
Kemudian aku menggeser Indun agar menindih di atas tubuhku. Sambil tanganku menutup hp, aku berbisik ke Indun, “Sekarang kamu genjot aku sekencang-kencangnya sampai keluar, ya. Sekuat-kuatnya”.

Indun mengangguk. Aku menjawab telepon suamiku, “Ayo, mas, buka celananya..”
Aku mengambil cdku di sampingku, lalu kujejalkan ke mulut Indun. Indun tahu maksudku agar dia tidak bersuara.
“Oke, Dik. Aku sudah menghunus rudalku..”

Sambil menjawab mesra aku menekan pantat Indun agar segera memaju mundurkan penisnya dalam vaginaku. Indun segera membalasnya, dan mulai menggenjotku. Aku menyuruhnya untuk menurunkan kakinya ke samping ranjang sehingga perutku tidak tertindih badannya.

Sementara aku mengangkang dengan dua kakiku terangkat ke samping kiri dan kanan badan laki-laki abg itu. Ohhh, ya Tuhan. Bagai kesetanan, Indun menggenjotku seperti yang kuperintahkan. Aku mengerang-erang, begitu juga suamiku.
“Mas, aku masturbasi kesetanan ini….. Pengen banget…. Kamu kocok kuat-kuat yaaa….. Ahhhhh”
“Iyyyyaaaa… Ooohhh, untung aku bawa cdmu, buat ngocok nihh…. Ohhhhh” erang suamiku.
Tak kalah hebatnya, Indun menggasak lobangku dengan tanpa kompromi. Badan kurusnya maju mundur secepat bor listrik. hiv

Aku mengerang-erang tidak karuan. Suara lobangku berdecit-decit karena banjir dan gesekan dengan penis Indun. Benar-benar gila malam ini. Aku sudah tidak ingat lagi berapa lama aku digenjot Indun. Suaraku penuh nafsu bertukar kata-kata mesra dengan suamiku. Indun seolah-olah tak pernah lelah. Tubuhnya sudah banjir keringat. Stamina mudanya benar-benar membanggakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *