Aku melangkah ke meja komputer di kamarku, mencoba melupakannya. Beberapa saat aku sudah tampak mulai tenang, perhatianku kini pada e-mail yang akan kukirim pada teman-teman netter. Aku memang hobi korespondensi via internet. Tapi mendadak pintu kamarku diketuk dari luar. “Di.., Didi.., ini Tante”, terdengar suara tante seksi eh lilis memanggil. “Ah..”, aku beranjak bangun dari korsi itu dan membuka pintu, “Ada apa, tante?”. “Kamu bisa buatin tante kopi?”. “ooo.., bisa tante”. “Tahu selera tante toh? “Iya tante, biasanya juga saya lihat Siti”, jawabku singkat dan langsung menuju ke dapur. “Tante tunggu di ruang tengah ya, Di”. “Baik, tante”.
Gelas yang kupegang itu hampir saja jatuh saat kulihat apa yang sedang disaksikan Tante lilis di layar TV. Pelan-pelan tanganku meletakkan gelas berisi kopi itu di sebuah meja kecil di samping Tante lilis, lalu bersiap untuk pergi meninggalkannya. “Didi..” “Ya…, tante”. “Kamu kalau habis pasang film seperti ini lain kali masukin lagi ke tempatnya yah”. “mm…, ma…, ma…, maaf tante…” aku tergagap, apalagi melihat Tante lilis yang berbicara tanpa melihat ke arahku. Benar-benar aku merasa seperti maling yang tertangkap basah. “Di…”, Tante lilis memanggil, kali ini ia memandangi, aku menundukkan muka, tak kubayangkan lagi kemolekan tubuh istri Om Toto itu. Aku benar-benar takut. “Tante nggak bermaksud marah lho, di…”, byarrr hatiku lega lagi. “Sekarang kalau kamu mau nonton, ya sudah sama-sama aja di sini, toh sudah waktunya kamu belajar tentang ini, biar nggak kuper”, ajaknya. “Wooow…”, kepalaku secepat kilat kembali membayangkan tubuhnya. Aku duduk di sofa sebelah tempatnya. Mataku lebih sering melirik tubuh Tante lilis daripada film itu. “Kamu kan sudah 18 tahun, Di. Ya nggak ada salahnya kalau nonton beginian. Lagipula tante kan nggak biasa lho nonton yang beginian sendiri..”.
Apa kalimat itu berarti undangan? Atau kupingku yang salah dengar? Oh my god Tante lilis mengangkat sebelah tangannya dan menyandarkan lengannya di sofa itu. Dari celah gaun di bawah ketiaknya terlihat jelas bukit payudaranya yang masih berlapis BH. Ukurannya benar-benar membuatku menelan ludah. Posisi duduknya berubah, kakinya disilangkan hingga daster itu sedikit tersingkap. Wooow, betis dengan bulu-bulu halus itu. Hmm, Wanita 40-an itu benar-benar menantang, wajah dan tubuhnya mirip sekali dengan pengusaha Dewi Motik, hanya Tante lilis kelihatan sedikit lebih muda, bibirnya lebih sensual dan hidungnya lebih mancung. Aku tak mengerti kenapa perempuan paruhbaya ini begitu tampak mempesona di mataku. Tapi mungkinkah…? Tidak, dia adalah istri Om Toto, orang yang belakangan ini sangat memperhatikanku. Aku di sini untuk belajar…, atas biaya mereka.., ah persetan!
Tante lilis mendadak mematikan VCD Player dan memindahkannya ke sebuah TV swasta. “Lho… kok?”. “Ah tante bosan ngeliatin itu terus, Di…”. “Tapi kan..”. “Sudah kalau mau kamu pasang aja sendiri di kamar..”, wajahnya masih biasa saja. “Eh, ngomong-ngomong, kamu sudah hampir setahun di sini yah?”. “Iya tante…”. “Sudah punya pacar?”, ia beranjak meminum kopi yang kubuatkan untuknya. “Belum”, mataku melirik ke arah belahan daster itu, tampaknya ada celah yang cukup untuk melihat payudara besarnya. Tak sadar penisku mulai berdiri. “Kamu nggak nyari gitu?”, ia mulai melirik sesekali ke arahku sambil tersenyum. “Alamaak, senyumnya.., oh singkapan daster bagian bawah itu, uh Tante lilis.., pahamu”, teriak batinku saat tangannya tanpa sengaja menyingkap belahan gaun di bagian bawah itu. Sengaja atau tidak sih? hiv
“Eeh Di.kamu ngeliatin apaan sih?”. Blarrr…, mungkin ia tahu kalau aku sedang berkonsentrasi memandang satu persatu bagian tubuhnya, “Nngggak kok tante nggak ngeliat apa-apa”. “Lho mata kamu kayaknya mandangin tante terus? Apa ada yang salah sama tante, Di?”, ya ampun dia tahu kalau aku sedang asyik memandanginya. “Eh…, mm…, anu tante…, aa…, aanu…, tante…,tante”, kerongkonganku seperti tercekat. “Anu apa…, ah kamu ini ada-ada saja, kenapa..”, matanya semakin terarah pada selangkanganku, bangsat aku lupa pakai celana dalam. Pantas Tante lilis tahu kalau penisku tegang. “Ta…, ta…, tante cantik sekali..”, aku tak dapat lagi mengontrol kata-kataku. Dan astaga, bukannya marah, Tante lilis malah mendekati aku. “Apa…, tante nggak salah dengar?”, katanya setengah berbisik. “Bener kok tante..”. “Tante yang seumur ini kamu bilang cantik, ah bisa aja. Atau kamu mau sesuatu dari tante?” ia memegang pundakku, terasa begitu hangat dan duh gusti buah dada yang sejak tadi kuperhatihan itu kini hanya beberapa sentimeter saja dari wajahku. Apa aku akan dapat menyentuhnya, come on man! Dia istri Om Toto batinku berkata.
Tangannya masih berada di pundakku sebelah kiri, aku masih tak bergeming. Tertunduk malu tanpa bisa mengendalikan pikiranku yang berkecamuk. Harum semerbak parfumnya semakin menggoda nafsuku untuk berbuat sesuatu. Kuberanikan mataku melirik lebih jelas ke arah belahan kain daster berbunga itu. Wow…, sepintas kulihat bukit di selangkangannya yang ahh, kembali aku menelan ludah.
“Kamu belum jawab pertanyaan tante lho, Di. Atau kamu mau tante jawab sendiri pertanyaan ini?”. “Nggak kok tante, sss.., sss…, saya jujur kalau tante memang cantik, eh.., mm…, menarik”. “Kamu belum pernah kenal cewek yah”. “Belum, tante”. “Kalau tante kasih pelajaran gimana?”. Ini dia yang aku tunggu, ah persetan dia istri Om Toto. Anggap saja ini pembalasan Tante lilis padanya. Dan juga…, oh aku ingin segera merasakan tubuh wanita. “Maksud tante…, apa?”, lanjutku bertanya, pandangan kami bertemu sejenak namun aku segera mengalihkan. “Kamu kan belum pernah pacaran nih, gimana kalau kamu tante ajarin caranya nikmati wanita…”. “Ta…, tapi tante”, aku masih ragu. “Kamu takut sama Om Toto? Tenang…, yang ada di rumah ini cuman kita, lho”. “This is excellent!”, teriakku dalam hati. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Batinku terus berteriak tapi badanku seperti tak dapat kugerakkan.
Beberapa saat kami berdua terdiam. “Coba sini tangan kamu”, aku memberikan tanganku padanya, my goodness tangan lembut itu menyentuh telapak tanganku yang kasarnya minta ampun. “Rupanya kamu memang belum pernah nyentuh perempuan, Di. Tante tahu kamu baru beranjak remaja dan tante ngerti tentang itu”, Berkata begitu sambil mengelus punggung tanganku, aku merinding dibuatnya, sementara di bawah, penisku yang sejak tadi sudah tegang itu mulai mengeluarkan cairan hingga menampakkan titik basah tepat di permukaan celana pendek itu. “Tante ngerti kamu terangsang sama film itu. Tapi tante perhatiin belakangan ini kamu sering diam-diam memandangi tubuh tante, benar kan?”, ia seperti menyergapku dalam sebuah perangkap, tangannya terus mengelus punggung telapak tanganku. Aku benar-benar merasa seperti maling yang tertangkap basah, tak sepatah kata lagi yang bisa kuucapkan. “Kamu kepingin pegang dada tante kan?”. hiv
Daarrr! Dadaku seperti pecah…, mukaku mulai memerah. Aku sampai lupa di bawah sana adik kecilku mulai melembek turun. Dengan segala sisa tenaga aku beranikan diri membalas pandangannya, memaksa diriku mengikuti senyum Tante lilis.Dan…, astaga…, Tante lilis menuntun telapak tanganku ke arah payudaranya yang menggelembung besar itu. “Ta…, ta…, tante…, ooohh”, suara itu keluar begitu saja, dan Tante lilis hanya melihat tingkahku sambil tersenyum. Adikku bangun lagi dan langsung seperti ingin meloncat keluar dari celana dalamku. Istri Om Toto itu melotot ke arah selangkanganku. “Waaww…, besar sekali punya kamu Di?”, serunya lalu secepat kilat tangannya menggenggam kemaluanku kemudian mengelus-elusnya. Secara reflek tanganku yang tadinya malu-malu dan terlebih dulu berada di permukaan buah dadanya bergerak meremas dengan sangat kuat sampai menimbulkan desah dari mulutnya. “aahh…, mm remas sayang ooohh”.
Masih tak percaya akan semua itu, aku membalikkan badan ke arahnya dan mulai menggerakkan tangan kiriku. Aku semakin berani, kupandangi wajah istri Om Toto itu dengan seksama. “Teruskan, Di…, buka baju tante”, permpuan itu mengangguk pelan. Matanya berbinar saat melihat kemaluanku tersembul dari celah celana pendek itu. Kancing dasternya kulepas satu persatu, bagian dadanya terbuka lebar. Masih dengan tangan gemetar aku meraih kedua buah dada yang berlapis BH putih itu. Perlahan-lahan aku mulai meremasnya dengan lembut, kedua telapak tanganku kususupkan melewati BH-nya. “mm…, tante..”, aku menggumam merasakan kelembutan buah dada besar Tante lilis yang selama sebulan terakhir ini hanya jadi impianku saja. Jari jemariku terasa begitu nyaman, membelai lembut daging kenyal itu, aku memilin puting susunya yang begitu lembutnya.