Pendidikan seksual sangat penting bagi anak dan remaja untuk membekali mereka dengan pengetahuan dan keterampilan yang tepat mengenai seksualitas. Berikut adalah beberapa hal penting terkait pemahaman seksual bagi remaja dan anak-anak:
- Pentingnya pendidikan seks sejak dini: Anak-anak perlu mendapatkan pendidikan seks sedini mungkin, tidak hanya sebatas pemberitahuan perbedaan toilet laki-laki dan perempuan, tetapi juga pengenalan tentang organ tubuh dan fungsinya. Hal ini penting untuk membekali mereka dengan informasi yang akurat dan mencegah mereka mendapatkan informasi yang salah dari sumber yang tidak terpercaya.
- Pemahaman perkembangan seksual: Remaja perlu memahami tahapan perkembangan seksual mereka, mulai dari fase laten (6-11 tahun) dimana aktivitas seksual berkurang, hingga fase genital (12 tahun ke atas) saat organ seksual dan hormon mulai aktif. Pemahaman ini akan membantu mereka menerima dan mengembangkan peran seks sesuai jenis kelaminnya.
- Risiko hubungan seks dini: Orangtua perlu menjelaskan kepada anak dan remaja tentang risiko kesehatan dan mental dari berhubungan seks di usia dini, seperti kehamilan tidak diinginkan, penyakit menular seksual, dan dampak buruk bagi kesehatan mental.
- Edukasi komprehensif: Pendidikan seks tidak hanya mencakup organ seksual, tetapi juga kepemilikan dan kenyamanan tubuh, serta kemampuan untuk menghadapi kekerasan atau pelecehan seksual. Hal ini penting untuk membentuk pemahaman yang utuh tentang seksualitas.
- Penyampaian yang tepat: Cara menyampaikan pendidikan seks pada anak dan remaja harus dilakukan secara perlahan dan beralasan, tidak hanya melarang tetapi juga menjelaskan alasannya. Hal ini akan membantu mereka memahami informasi dengan baik.
Dengan pemahaman seksual yang tepat sejak dini, anak dan remaja diharapkan dapat memiliki pengetahuan, kepercayaan diri, dan tanggung jawab yang baik dalam mengelola seksualitasnya.
- Persetubuhan dengan anak di bawah umur tidak mengenal istilah “suka sama suka”. Meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka, tetap dianggap sebagai tindak pidana persetubuhan atau pencabulan terhadap anak.
- Pelaku yang melakukan persetubuhan atau pencabulan terhadap anak tetap akan dikenakan sanksi pidana sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun penjara.
- Usia anak yang dihamili tidak menjadi alasan untuk menghindari jeratan hukum. Pasal 81 UU Perlindungan Anak mengatur persetubuhan terhadap anak di bawah umur.
- Meskipun anak yang dihamili sudah berusia di atas 18 tahun, ia tetap dapat menuntut pelaku di kemudian hari karena kewenangan menuntut pidana belum hapus karena daluwarsa.
- Orang tua juga dapat melaporkan pelaku ke polisi atas dugaan tindak pidana persetubuhan dengan anak, jika anak belum berusia 18 tahun.
Jadi, laki-laki yang menghamili anak di bawah umur, baik sengaja maupun tidak sengaja, tetap dapat dikenakan sanksi pidana sesuai UU Perlindungan Anak. Usia anak dan alasan suka sama suka tidak dapat dijadikan pembelaan.
- Tenangkan diri terlebih dahulu: Orang tua wajar merasa kaget, marah, atau kecewa. Namun, jangan langsung memarahi atau memaki anak. Beri waktu untuk menenangkan diri sebelum membicarakannya.
- Bicarakan dengan baik-baik: Ajak anak berbicara secara empat mata, dengan kepala dingin dan tegas, tapi tidak memojokkan atau menyalahkan sepenuhnya. Tanyakan alasan mereka melakukannya dan apakah mereka memahami risikonya.
- Hindari sikap menghakimi: Ingat bahwa anak telah berani jujur, sehingga hargai keberaniannya. Jangan langsung menyalahkan atau memaki, karena hal itu dapat membuat anak merasa takut dan tidak terbuka lagi di kemudian hari.
- Buat komitmen bersama: Diskusikan dengan anak agar mereka tidak mengulangi perbuatan tersebut sampai batas waktu tertentu. Berikan pemahaman tentang pentingnya menjaga diri dan masa depan.
- Libatkan pihak lain jika perlu: Jika diperlukan, orang tua dapat melibatkan pihak lain seperti konselor atau psikolog untuk membantu memberikan pemahaman dan pendampingan yang lebih komprehensif bagi anak.
Intinya, orang tua perlu bersikap tenang, bijaksana, dan berorientasi pada solusi, bukan hanya memarahi. Hal ini penting agar anak tetap merasa aman untuk terbuka dan mau memperbaiki diri.