Pelecehan seksual di kalangan mahasiswa telah menjadi isu yang sangat sensitif dan memerlukan perhatian serius. Berbagai kasus seksual dipikirkan telah terjadi di perguruan tinggi, dengan pengorbanan sebagian besar adalah perempuan. Kekerasan seksual ini tidak hanya menghambat atau mencapai pencapaian akademik korban, tetapi juga dapat menyebabkan korban putus kuliah serta mendeskreditkan posisi lembaga pendidikan.
Menurut data, korban melontarkan pendapat di lingkungan perguruan tinggi masih minim melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa dirinya sendiri. Pelaporan lebih banyak dilakukan oleh pihak lain, seperti rekan dan orang tua korban. Pelaporan ke lembaga kampus pun hanya 11 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak korban yang tidak berani melapor karena takut mendapatkan stigmatisasi atau bahkan sanksi lebih lanjut.
Pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi masih membutuhkan dukungan bersama. Satgas PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) maupun pihak berwajib diharapkan mendapatkan kepercayaan sehingga semakin berperan. Untuk itu, edukasi yang tepat dan berkala perlu diberikan agar siswa dan dosen memahami batas-batas interaksi yang seharusnya. Selain itu, lingkungan universitas seharusnya memberikan jaminan perlindungan bagi korban dan memberikan sanksi yang tegas bagi pelaku.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan peraturan yang mengatur pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Berdasarkan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021, terdapat 21 jenis pengungkapan seksual yang dilakukan secara verbal, non fisik, fisik, dan atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Penanganan korban kekerasan seksual diatur dalam Pasal 10-19 Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 yang terdiri dari pendampingan, perlindungan, dan penanganan trauma yang timbul akibat kekerasan seksual.
NONTON FILM BOKEP: PORNHUB